Masalah Sosial Pengangguran :
Pengangguran dan Pengertiannya
Dalam indikator ekonomi makro ada tiga hal terutama yang menjadi pokok
permasalahan ekonomi makro. Pertama adalah masalah pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi dapat dikategorikan baik jika angka pertumbuhan positif
dan bukannya negatif. Kedua adalah masalah inflasi. Inflasi adalah indikator
pergerakan harga-harga barang dan jasa secara umum, yang secara bersamaan
juga berkaitan dengan kemampuan daya beli. Inflasi mencerminkan stabilitas
harga, semakin rendah nilai suatu inflasi berarti semakin besar adanya kecenderungan ke arah stabilitas harga. Namun masalah inflasi tidak hanya berkaitan dengan melonjaknya harga suatu barang dan jasa. Inflasi juga sangat berkaitan dengan purchasing power atau daya beli dari masyarakat. Sedangkan daya beli masyarakat sangat bergantung kepada upah riil. Inflasi sebenarnya tidak terlalu bermasalah jika kenaikan harga dibarengi dengan kenaikan upah riil. Masalah ketiga adalah pengangguran. Memang masalah pengangguran telah menjadi momok yang begitu menakutkan khususnya di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Negara berkembang seringkali dihadapkan dengan besarnya angka pengangguran karena sempitnya lapangan pekerjaan dan besarnya jumlah penduduk. Sempitnya lapangan pekerjaan dikarenakan karena faktor kelangkaan modal untuk berinvestasi. Masalah pengangguran itu sendiri tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang namun juga dialami oleh negara-negara maju. Namun masalah pengangguran di negara-negara maju jauh lebih mudah terselesaikan daripada di negara-negara berkembang karena hanya berkaitan dengan pasang surutnya business cycle dan bukannya karena faktor kelangkaan investasi, masalah ledakan penduduk, ataupun masalah sosial politik di negara tersebut. Melalui artikel inilah
Dalam indikator ekonomi makro ada tiga hal terutama yang menjadi pokok
permasalahan ekonomi makro. Pertama adalah masalah pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi dapat dikategorikan baik jika angka pertumbuhan positif
dan bukannya negatif. Kedua adalah masalah inflasi. Inflasi adalah indikator
pergerakan harga-harga barang dan jasa secara umum, yang secara bersamaan
juga berkaitan dengan kemampuan daya beli. Inflasi mencerminkan stabilitas
harga, semakin rendah nilai suatu inflasi berarti semakin besar adanya kecenderungan ke arah stabilitas harga. Namun masalah inflasi tidak hanya berkaitan dengan melonjaknya harga suatu barang dan jasa. Inflasi juga sangat berkaitan dengan purchasing power atau daya beli dari masyarakat. Sedangkan daya beli masyarakat sangat bergantung kepada upah riil. Inflasi sebenarnya tidak terlalu bermasalah jika kenaikan harga dibarengi dengan kenaikan upah riil. Masalah ketiga adalah pengangguran. Memang masalah pengangguran telah menjadi momok yang begitu menakutkan khususnya di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Negara berkembang seringkali dihadapkan dengan besarnya angka pengangguran karena sempitnya lapangan pekerjaan dan besarnya jumlah penduduk. Sempitnya lapangan pekerjaan dikarenakan karena faktor kelangkaan modal untuk berinvestasi. Masalah pengangguran itu sendiri tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang namun juga dialami oleh negara-negara maju. Namun masalah pengangguran di negara-negara maju jauh lebih mudah terselesaikan daripada di negara-negara berkembang karena hanya berkaitan dengan pasang surutnya business cycle dan bukannya karena faktor kelangkaan investasi, masalah ledakan penduduk, ataupun masalah sosial politik di negara tersebut. Melalui artikel inilah
saya mencoba untuk mengangkat masalah
pengangguran dengan segala dampaknya di Indonesia yang menurut
pengamatan saya sudah semakin memprihatinkan terutama ketika negara
kita terkena imbas dari krisis ekonomi sejak tahun 1997 . Apa itu
pengangguran? Pengangguran adalah suatu kondisi di mana orang tidak
dapat bekerja, karena tidak tersedianya lapangan pekerjaan. Ada berbagai
macam tipe pengangguran, misalnya pengangguran teknologis,
pengangguran friksional dan pengangguran struktural. Tingginya angka
pengangguran, masalah ledakan penduduk, distribusi pendapatan yang
tidak merata, dan berbagai permasalahan lainnya di negara kita menjadi
salah satu faktor utama rendahnya taraf hidup para penduduk di negara
kita. Namun yang menjadi manifestasi utama sekaligus faktor penyebab
rendahnya taraf hidup di negara-negara berkembang adalah terbatasnya
penyerapan sumber daya, termasuk sumber daya manusia. Jika dibandingkan
dengan negara-negara maju, pemanfaatan sumber daya yang dilakukan oleh
negara-negara berkembang relatif lebih rendah daripada yang dilakukan
di negara-negara maju karena buruknya efisiensi dan efektivitas dari
penggunaan sumber daya baik sumber daya alam maupun sumber daya
manusia. Dua penyebab utama dari rendahnya pemanfaatan sumber daya
manusia adalah karena tingkat pengangguran penuh dan tingkat
pengangguran terselubung yang terlalu tinggi dan terus melonjak.
Pengangguran penuh atau terbuka yakni terdiri dari orang-orang yang
sebenarnya mampu dan ingin bekerja, akan tetapi tidak mendapatkan
lapangan pekerjaan sama sekali. Berdasarkan data dari Depnaker pada
tahun 1997 jumlah pengangguran terbuka saja sudah mencapai sekitar 10%
dari sekitar 90 juta angkatan kerja yang ada di Indonesia, dan jumlah
inipun belum mencakup
pengangguran terselubung. Jika
persentase pengangguran total dengan melibatkan jumlah pengangguran
terselubung dan terbuka hendak dilihat angkanya, maka angkanya sudah
mencapai 40% dari 90 juta angkatan kerja yang berarti jumlah penganggur
mencapai sekitar 36 juta orang. Adapun pengangguran terselubung adalah
orang-orang yang menganggur karena bekerja di bawah kapasitas
optimalnya. Para penganggur terselubung ini adalah orang-orang yang
bekerja di bawah 35 jam dalam satu minggunya. Jika kita berasumsi bahwa
krisis ekonomi hingga saat ini belum juga bisa terselesaikan maka
angka-angka tadi dipastikan akan lebih melonjak. Ledakan Pengangguran
Akibat krisis finansial yang memporak-porandakan perkonomian nasional,
banyak para pengusaha yang bangkrut karena dililit hutang bank atau
hutang ke rekan bisnis. Begitu banyak pekerja atau buruh pabrik yang
terpaksa di-PHK oleh perusahaan di mana tempat ia bekerja dalam rangka
pengurangan besarnya cost yang dipakai untuk membayar gaji para
pekerjanya. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu terjadinya
ledakan pengangguran yakni pelonjakan angka pengangguran dalam waktu
yang relatif singkat. Awal ledakan pengangguran sebenarnya bisa
diketahui sejak sekitar tahun 1997 akhir atau 1998 awal. Ketika terjadi
krisis moneter yang hebat melanda Asia khususnya Asia Tenggara
mendorong terciptanya likuiditas ketat sebagai reaksi terhadap gejolak
moneter. Di Indonesia, kebijakan likuidasi atas 16 bank akhir November
1997 saja sudah bisa membuat sekitar 8000 karyawannya menganggur. Dan
dalam selang waktu yang tidak relatif lama, 7.196 pekerja dari 10
perusahaan sudah di PHK dari pabrik-pabrik mereka di Jawa Barat,
Jakarta, Yogyakarta, dan Sumatera Selatan berdasarkan data pada akhir
Desember 1997. Ledakan pengangguranpun berlanjut di tahun 1998, di mana
sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru akan terjadi. Dengan
perekonomian yang hanya tumbuh sekitar 3,5 sampai 4%, maka tenaga kerja
yang bisa diserap sekitar 1,3 juta orang dari tambahan angkatan kerja
sekitar 2,7 juta orang. Sisanya menjadi tambahan pengangguran terbuka
tadi. Total pengangguran jadinya akan melampaui 10 juta orang.
Berdasarkan pengalaman, jika kita mengacu pada data-data pada tahun
1996 maka pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 sampai 4% belumlah memadai,
seharusnya pertumbuhan ekonomi yang ideal bagi negara berkembang macam
Indonesia adalah di atas 6%. Berdasarkan data sepanjang di tahun 1996,
perekonomian hanya mampu menyerap 85,7 juta orang dari jumlah angkatan
kerja 90,1 juta orang. Tahun 1996 perekonomian mampu menyerap jumlah
tenaga kerja dalam jumlah relatif besar karena ekonomi nasional tumbuh
hingga 7,98 persen. Tahun 1997 dan 1998, pertumbuhan ekonomi dapat
dipastikan tidak secerah tahun 1996. Pada tahun 1998 krisis ekonomi
bertambah parah karena banyak wilayah Indonesia yang diterpa musim
kering, inflasi yang terjadi di banyak daerah, krisis moneter di dalam
negeri maupun di negara-negara mitra dagang seperti sesama ASEAN,
Korsel dan Jepang akan sangat berpengaruh. Jika kita masih berpatokan
dengan asumsi keadaan di atas, maka ledakan pengangguran diperkirakan
akan berlangsung terus sepanjang tahun-tahun ke depan. Memang ketika
kita menginjak tahun 2000, jumlah pengangguran di tahun 2000 ini sudah
menurun dibanding tahun 1999. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi tahun
2000 yang meningkat menjadi 4,8 persen. Pengangguran tahun 1999 yang
semula 6,01 juga turun menjadi 5,87 juta orang. Sedang setengah
pengangguran atau pengangguran terselubung juga menurun dari 31,7 juta
menjadi 30,1 juta orang pada tahun 2000. Jumlah pengangguran saat ini
mencapat sekitar 35,97 juta orang, namun pemerintah masih memfokuskan
penanggulangan pengangguran ini pada 16,48 juta orang. Jumlah
pengangguran saat ini yaitu pada tahu 2001 mencapai 35,97 juta orang
yang diperkirakan bisa bertambah bila pemulihan ekonomi tidak segera
berjalan dengan baik. Karena hal inilah maka pemerintah perlu berusaha
semaksimal mungkin untuk mencari investor asing guna menanamkan
modalnya di sini sehingga lapangan pekerjaan baru dapat tercipta untuk
dapat menyerap sebanyak mungkin tenaga kerja. Berdasarkan perhitungan
maka pada saat ini perekonomian negara kita memerlukan pertumbuhan
ekonomi minimal 6 persen, meski idealnya diatas 6 persen, sehingga bisa
menampung paling tidak 2,4 juta angkatan kerja baru. Sebab dari satu
persen pertumbuhan ekonomi bisa menyerap sektiar 400 ribu angkatan
kerja. Ini juga ditambah dengan peluang kerja di luar negeri yang
rata-rata bisa menampung 500 ribu angkatan kerja setiap tahunnya. Untuk
memacu pertumbuhan ekonomi yang pesat maka mau tidak mau negara kita
terpaksa harus menarik investasi asing karena sangatlah sulit untuk
mengharapkan banyak dari investasi dalam negeri mengingat justru di
dalam negeri para pengusaha besar banyak yang berhutang ke luar negeri.
Hal ini bertambah parah karena hutang para pengusaha (sektor swasta)
dan pemerintah dalam bentuk dolar. Sementara pada saat ini nilai tukar
rupiah begitu rendah (undervalue) terhadap dolar. Namun menarik para
investor asingpun bukan merupakan pekerjaan yang mudah jika kita
berkaca pada situasi dan kondisi sekarang ini. Suhu politik yang
semakin memanas, kerawanan sosial, teror bom, faktor desintegrasi
bangsa, dan berbagai masalah lainnya akan membuat para investor asing
enggan untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Karena itulah maka
situasi dan kondisi yang kondusif haruslah diupayakan dan dipertahankan
guna menarik investor asing masuk kemari dan menjaga agar para
investor asing yang sudah menanamkan modalnya asing tidak lagi menarik
modalnya ke luar yang nantinya akan berakibat capital outflow. Masalah
Pengangguran dan Krisis Sosial Jika masalah pengangguran yang demikian
pelik dibiarkan berlarut-larut maka sangat besar kemungkinannya untuk
mendorong suatu krisis sosial. Suatu krisis sosial ditandai dengan
meningkatnya angka kriminalitas, tingginya angka kenakalan remaja,
melonjaknya jumlah anak jalanan atau preman, dan besarnya kemungkinan
untuk terjadi berbagai kekerasan sosial yang senantiasa menghantui
masyarakat kita. Bagi banyak orang, mendapatkan sebuah pekerjaan seperti
mendapatkan harga diri.Kehilangan pekerjaan bisa dianggap kehilangan
harga diri. Walaupun bukan pilihan semua orang, di zaman serba susah
begini pengangguran dapat dianggap sebagai nasib. Seseorang bisa saja
diputus hubungan kerja karena perusahaannya bangkrut. Padahal di
masyarakat, jutaan penganggur juga antri menanti tenaganya
dimanfaatkan. Besarnya jumlah pengangguran di Indonesia lambat-laun akan
menimbulkan banyak masalah sosial yang nantinya akan menjadi suatu
krisis sosial, karena banyak orang yang frustasi menghadapi nasibnya.
Pengangguran yang terjadi tidak saja menimpa para pencari kerja yang
baru lulus sekolah, melainkan juga menimpa orangtua yang kehilangan
pekerjaan karena kantor dan pabriknya tutup. Indikator masalah sosial
bisa dilihat dari begitu banyaknya anak-anak yang mulai turun ke jalan.
Mereka menjadi pengamen, pedagang asongan maupun pelaku tindak
kriminalitas. Mereka adalah generasi yang kehilangan kesempatan
memperoleh pendidikan maupun pembinaan yang baik. Salah satu faktor yang
mengakibatkan tingginya angka pengangguran di negara kita adalah
terlampau banyak tenaga kerja yang diarahkan ke sektor formal sehingga
ketika mereka kehilangan pekerjaan di sektor formal, mereka kelabakan
dan tidak bisa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri di sektor
informal. Justru orang-orang yang kurang berpendidikan bisa melakukan
inovasi menciptakan kerja, entah sebagai joki yang menumpang di mobil
atau joki payung kalau hujan. Juga para pedagang kaki lima dan tukang
becak, bahkan orang demo saja dibayar. Yang menjadi kekhawatiran adalah
jika banyak para penganggur yang mencari jalan keluar dengan mencari
nafkah yang tidak halal. Banyak dari mereka yang menjadi pencopet,
penjaja seks, pencuri, preman, penjual narkoba, dan sebagainya. Bahkan
tidak sedikit mereka yang dibayar untuk berbuat rusuh atau anarkis demi
kepentingan politik salah satu kelompok tertentu yang masih erat
hubungannya dengan para pentolan Orba. Ada juga yang menyertakan diri
menjadi anggota laskar jihad yang dikirim ke
Ambon dengan dalih membela agama.
Ambon dengan dalih membela agama.
Padahal di sana mereka cuma jadi perusuh yang doyan menjarah,
memperkosa, dan membunuh orang-orang Maluku yang tidak berdosa. Hal
inilah yang harus diperhatikan oleh pemerintah jika krisis sosial tidak
ingin berlanjut terus. Masalah Pengangguran dan Pendidikan
Pengangguran intelektual di Indonesia cenderung terus meningkat dan semakin mendekati titik yang mengkhawatirkan. Diperkirakan angka pengangguran intelektual yang pada tahun 1995 mencapai 12,36 persen, pada tahun 1995 diperkirakan akan meningkat menjadi 18,55 persen, dan pada tahun 2003 meningkat lagi menjadi 24,5 persen. Pengangguran intelektual ini tidak terlepas dari persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Fenomena inilah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita dimana para tenaga kerja yang terdidik banyak yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang gelar. Meski ada kecenderungan pengangguran terdidik semakin meningkat namun upaya
tinggi tidak boleh berhenti. Akan tetapi pemerataan pendidikan itu harus dilakukan tanpa mengabaikan mutu pendidikan itu sendiri. Karena itu maka salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktek. Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa menjadi bosan. Di negara-negara maju, pendidikkan dalam wujud praktek lebih diberikan dalam porsi yang lebih besar. Di sanapun, cara pembelajaran dan pemberian pendidikkan diberikan dalam wujud yang lebih menarik dan kreatif. Di negara kita, saat ini ada kecenderungan bahwa para siswa hanya mempunyai kebiasaan menghafal saja untuk pelajaran-pelajaran yang menyangkut ilmu sosial, bahasa, dan sejarah atau menerima saja berbagai teori namun sayangnya para siswa tidak memiliki kemampuan untuk menggali wawasan pandangan yang lebih luas serta cerdas dalam memahamidan mengkaji suatu masalah. Sedangkan untuk ilmu pengetahuan alam para siswa cenderung hanya diberikan latihan soal-soal yang cenderung hanya melatih kecepatan dalam berpikir untuk menemukan jawaban dan bukannya mempertajam penalaran atau melatih kreativitas dalam berpikir. Contohnya seperti seseorang yang pandai dalam mengerjakan soal-soal matematika bukan karena kecerdikan dalam melakukan analisis terhadap soal atau kepandaian dalam membuat jalan perhitungan tetapi karena dia memang sudah hafal tipe soalnya. Seringkali seseorangpun hanya sekedar bisa mengerjakan soalnya dengan menggunakan rumus tetapi tidak tahu asal muasal rumus tersebut. Kenyataan inilah yang menyebabkan sumber daya manusia kita ketinggalan jauh dengan sumber daya manusia yang ada di negara-negara maju. Kita hanya pandai dalam teori tetapi gagal dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja terdidik kita juga adalah karena kita terlampau melihat pada gelar tanpa secara serius membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang kita tekuni. Sehingga karena hal inilah maka para tenaga kerja terdidik sulit bersaing dengan tenaga kerja asing dalam usaha untuk mencari pekerjaan. Jika kita melihat dari sudut pandang ekonomi, pengangguran tenaga kerja terdidik cenderung meningkat pada saat masyarakat mengalami proses modernisasi dan industrialisasi. Dalam proses perubahan itu terjadi pergeseran tenaga kerja antarsektor, yaitu dari sektor ekonomi subsistem ke sektor ekonomi renumeratif. Setelah kembali mapan, pengangguran akan cenderung rendah kembali. Proses industrialisasi tidak hanya terjadi pada suatu titik waktu akan tetapi merupakan suatu proses yang berkelanjutan. Pergeseran ekonomi dalam proses industrialisasi tidak hanya berlangsung dari pertanian ke industri tetapi juga terus terjadi dari industri berteknologi rendah ke teknologi, dan selanjutnya menuju industri yang berbasis informasi dan intelektualitas. Pada tahap ini, lanjutnya, perubahan itu terus berlangsung dari waktu ke waktu yang mengakibatkan tenaga kerja harus terus-menerus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan teknologi. Akibatnya pengangguran merupakan suatu kondisi normal di negara-negara maju yang teknologinya terus berubah. Masalah pengangguran terdidik di Indonesia, tuturnya, sudah mulai mencuat sejak sekitar tahun 1980-an saat Indonesia mulai memasuki era industri. Pada tahun 1970-an pemerintah melakukan investasi besar-besaran pada sektor-sektor yang berkaitan dengan kebutuhan dasar, seperti pertanian dan pendidikan dasar. Memasuki dasawarsa 1980-an, output pendidikan SD dalam jumlah besar telah mendorong pertumbuhan besar-besaran pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Namun masalah pendidikan menjadi dilematis, di satu sisi pendidikan dianggap sangat lambat mengubah struktur angkatan kerja terdidik karena angkatan kerja lulusan pendidikan tinggi baru 3,05 persen dari angkatan kerja nasional. Namun di sisi lain, pendidikan juga dipersalahkan karena mengeluarkan lulusan pendidikan tinggi yang terlalu banyak sehingga menjadi penganggur. Salah satu penyebab pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah karena kualitas pendidikan tinggi di Indonesia yang masih rendah. Akibatnya lulusan yang dihasilkanpun kualitasnya rendah sehingga tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pengangguran terdidik dapat saja dipandang sebagai rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan. Namun bila dilihat lebih jauh, dari sisi permintaan tenaga kerja, pengangguran terdidik dapat dipandang sebagai ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja dalam menyerap tenaga terdidik yang munculsecara bersamaan dalam jumlah yang terus berakumulasi. Masalah Pengangguran dan Inflasi Setelah dalam sepuluh tahun terakhir laju inflasi nasional mampu dipertahankan di bawah angka sepuluh persen, namun pada tahun 1997 laju inflasi akhirnya menembus angka dua digit, yaitu 11,05 persen. Laju inflasi tahun 1997 itu jauh lebih tinggi jika dibandingkan inflasi 1996 yang 6,47 persen. Hal itu terjadi, di samping karena kemarau panjang, antara lain juga akibat krisis moneter yang akhirnya melebar jadi krisis ekonomi. Inflasi bulan Desember 1997 saja tercatat 2,04 persen. Dengan angka inflasi 11,05 persen, sekaligus menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki angka inflasi tertinggi di ASEAN, setidaknya dalam tiga tahun terakhir ini. Tingginya angka inflasi karena tidak seimbangnya antara permintaan dan penawaran barang dan jasa. Ini membuktikan tingginya laju inflasi di negara kita lebih banyak dipengaruhi sektor riil, bukan sektor moneter. Jika kita mengambil kesimpulan mengenai masalah inflasi di Indonesia bahwa ternyata laju inflasi tidak semata ditentukan faktor moneter, tapi juga faktor fisik. Ada empat faktor yang menentukan tingkat inflasi. Pertama, uang yang beredar baik uang tunai maupun giro. Kedua, perbandingan antara sektor moneter dan fisik barang yang tersedia. Ketiga, tingkat suku bunga bank juga ikut mempengaruhi laju inflasi. Suku bunga di Indonesia termasuk lebih tinggi dibandingkan negara di kawasan Asia. Keempat, tingkat inflasi ditentukan faktor fisik prasarana. Melonjaknya inflasipun karena dipicu oleh kebijakan pemerintah yang menarik subisidi sehingga harga listrik dan BBM meningkat. Kenaikan BBM ini telah menggenjot tingkat inflasi bulan Juni 2001 menjadi 1,67 persen.
Pengangguran intelektual di Indonesia cenderung terus meningkat dan semakin mendekati titik yang mengkhawatirkan. Diperkirakan angka pengangguran intelektual yang pada tahun 1995 mencapai 12,36 persen, pada tahun 1995 diperkirakan akan meningkat menjadi 18,55 persen, dan pada tahun 2003 meningkat lagi menjadi 24,5 persen. Pengangguran intelektual ini tidak terlepas dari persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Fenomena inilah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita dimana para tenaga kerja yang terdidik banyak yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang gelar. Meski ada kecenderungan pengangguran terdidik semakin meningkat namun upaya
tinggi tidak boleh berhenti. Akan tetapi pemerataan pendidikan itu harus dilakukan tanpa mengabaikan mutu pendidikan itu sendiri. Karena itu maka salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktek. Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa menjadi bosan. Di negara-negara maju, pendidikkan dalam wujud praktek lebih diberikan dalam porsi yang lebih besar. Di sanapun, cara pembelajaran dan pemberian pendidikkan diberikan dalam wujud yang lebih menarik dan kreatif. Di negara kita, saat ini ada kecenderungan bahwa para siswa hanya mempunyai kebiasaan menghafal saja untuk pelajaran-pelajaran yang menyangkut ilmu sosial, bahasa, dan sejarah atau menerima saja berbagai teori namun sayangnya para siswa tidak memiliki kemampuan untuk menggali wawasan pandangan yang lebih luas serta cerdas dalam memahamidan mengkaji suatu masalah. Sedangkan untuk ilmu pengetahuan alam para siswa cenderung hanya diberikan latihan soal-soal yang cenderung hanya melatih kecepatan dalam berpikir untuk menemukan jawaban dan bukannya mempertajam penalaran atau melatih kreativitas dalam berpikir. Contohnya seperti seseorang yang pandai dalam mengerjakan soal-soal matematika bukan karena kecerdikan dalam melakukan analisis terhadap soal atau kepandaian dalam membuat jalan perhitungan tetapi karena dia memang sudah hafal tipe soalnya. Seringkali seseorangpun hanya sekedar bisa mengerjakan soalnya dengan menggunakan rumus tetapi tidak tahu asal muasal rumus tersebut. Kenyataan inilah yang menyebabkan sumber daya manusia kita ketinggalan jauh dengan sumber daya manusia yang ada di negara-negara maju. Kita hanya pandai dalam teori tetapi gagal dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja terdidik kita juga adalah karena kita terlampau melihat pada gelar tanpa secara serius membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang kita tekuni. Sehingga karena hal inilah maka para tenaga kerja terdidik sulit bersaing dengan tenaga kerja asing dalam usaha untuk mencari pekerjaan. Jika kita melihat dari sudut pandang ekonomi, pengangguran tenaga kerja terdidik cenderung meningkat pada saat masyarakat mengalami proses modernisasi dan industrialisasi. Dalam proses perubahan itu terjadi pergeseran tenaga kerja antarsektor, yaitu dari sektor ekonomi subsistem ke sektor ekonomi renumeratif. Setelah kembali mapan, pengangguran akan cenderung rendah kembali. Proses industrialisasi tidak hanya terjadi pada suatu titik waktu akan tetapi merupakan suatu proses yang berkelanjutan. Pergeseran ekonomi dalam proses industrialisasi tidak hanya berlangsung dari pertanian ke industri tetapi juga terus terjadi dari industri berteknologi rendah ke teknologi, dan selanjutnya menuju industri yang berbasis informasi dan intelektualitas. Pada tahap ini, lanjutnya, perubahan itu terus berlangsung dari waktu ke waktu yang mengakibatkan tenaga kerja harus terus-menerus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan teknologi. Akibatnya pengangguran merupakan suatu kondisi normal di negara-negara maju yang teknologinya terus berubah. Masalah pengangguran terdidik di Indonesia, tuturnya, sudah mulai mencuat sejak sekitar tahun 1980-an saat Indonesia mulai memasuki era industri. Pada tahun 1970-an pemerintah melakukan investasi besar-besaran pada sektor-sektor yang berkaitan dengan kebutuhan dasar, seperti pertanian dan pendidikan dasar. Memasuki dasawarsa 1980-an, output pendidikan SD dalam jumlah besar telah mendorong pertumbuhan besar-besaran pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Namun masalah pendidikan menjadi dilematis, di satu sisi pendidikan dianggap sangat lambat mengubah struktur angkatan kerja terdidik karena angkatan kerja lulusan pendidikan tinggi baru 3,05 persen dari angkatan kerja nasional. Namun di sisi lain, pendidikan juga dipersalahkan karena mengeluarkan lulusan pendidikan tinggi yang terlalu banyak sehingga menjadi penganggur. Salah satu penyebab pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah karena kualitas pendidikan tinggi di Indonesia yang masih rendah. Akibatnya lulusan yang dihasilkanpun kualitasnya rendah sehingga tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pengangguran terdidik dapat saja dipandang sebagai rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan. Namun bila dilihat lebih jauh, dari sisi permintaan tenaga kerja, pengangguran terdidik dapat dipandang sebagai ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja dalam menyerap tenaga terdidik yang munculsecara bersamaan dalam jumlah yang terus berakumulasi. Masalah Pengangguran dan Inflasi Setelah dalam sepuluh tahun terakhir laju inflasi nasional mampu dipertahankan di bawah angka sepuluh persen, namun pada tahun 1997 laju inflasi akhirnya menembus angka dua digit, yaitu 11,05 persen. Laju inflasi tahun 1997 itu jauh lebih tinggi jika dibandingkan inflasi 1996 yang 6,47 persen. Hal itu terjadi, di samping karena kemarau panjang, antara lain juga akibat krisis moneter yang akhirnya melebar jadi krisis ekonomi. Inflasi bulan Desember 1997 saja tercatat 2,04 persen. Dengan angka inflasi 11,05 persen, sekaligus menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki angka inflasi tertinggi di ASEAN, setidaknya dalam tiga tahun terakhir ini. Tingginya angka inflasi karena tidak seimbangnya antara permintaan dan penawaran barang dan jasa. Ini membuktikan tingginya laju inflasi di negara kita lebih banyak dipengaruhi sektor riil, bukan sektor moneter. Jika kita mengambil kesimpulan mengenai masalah inflasi di Indonesia bahwa ternyata laju inflasi tidak semata ditentukan faktor moneter, tapi juga faktor fisik. Ada empat faktor yang menentukan tingkat inflasi. Pertama, uang yang beredar baik uang tunai maupun giro. Kedua, perbandingan antara sektor moneter dan fisik barang yang tersedia. Ketiga, tingkat suku bunga bank juga ikut mempengaruhi laju inflasi. Suku bunga di Indonesia termasuk lebih tinggi dibandingkan negara di kawasan Asia. Keempat, tingkat inflasi ditentukan faktor fisik prasarana. Melonjaknya inflasipun karena dipicu oleh kebijakan pemerintah yang menarik subisidi sehingga harga listrik dan BBM meningkat. Kenaikan BBM ini telah menggenjot tingkat inflasi bulan Juni 2001 menjadi 1,67 persen.