Gizi Buruk, Bangsa Redup
Oleh Bernard Simamora - Sebanyak 18.238 dari
4,3 juta bayi di bawah lima tahun (balita) di Jabar mengalami gizi buruk.
Berdasarkan data Senin (20/6), balita yang mengalami Marasmus (kurang
protein akut) sebanyak 160 orang dan yang menderita Kwasiorkor (kurang
kalori akut atau busung lapar) sebanyak satu orang. Selain itu, delapan orang
balita mengalami Marasmus dan Kwasiorkor sekaligus.
Menurut Elly Musa, Kepala Seksi Gizi Dinkes
Jabar, jumlah penderita gizi buruk dan busung lapar di Jabar masih bisa
bertambah. Penderita gizi buruk yang paling banyak terdapat di Kab Cirebon
4.005 balita. Kab Bandung sebanyak 2.991, Kab Cianjur 2.411, dan Kota Bandung
sebanyak 1.769. Balita yang mengalami Marasmusterbanyak, kata dia,
terdapat di Kab Cianjur sebanyak 70 balita.
Data yang disebut-sebut di atas tentu masih
berdasarkan pantauan Dinkes. Seperti biasanya, angka-angka dari pemerintah
ibarat bongkahan es yang muncul di permukaan air – di bawah permukaan,
bongkahan es jauh lebih besar. Artinya, jumlah anak penderita gizi buruk yang
sebenarnya di lapangan, jauh lebih besar dari angka-angka di atas.
Para ahli gizi meyakini bahwa IQ (Intelligent
Quetiont) anak yang pernah menderita gizi buruk lebih rendah 13,7 poin
dibandingkan dengan anak normal. Rendahnya IQ identik dengan rendahnya tingkat
kecerdasan. Turunnya tingkat kecerdasan generasi muda berarti hilangnya
sebagian potensi cerdik pandai, ahli pikir, dan pemimpin yang diperlukan untuk
kemajuan masyarakat bangsa. Jadi jika keadaan ini tidak mendapat perhatian
memadai, dapat diramalkan penurunan kualitas sumber daya manusia Indonesia pada
masa datang.
Masalah gizi memiliki dimensi luas, tidak
hanya merupakan masalah kesehatan, tetapi juga meliputi masalah sosial,
ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan, dan lingkungan. Tetapi oleh karena
ujung-ujungnya berdampak pada kelainan kesehatan, yang kena getahnya Departemen
Kesehatan, padahal penyebab awal bukan semata-mata faktor kesehatan.
Sebagai contoh, kini kian banyak kasus gizi
buruk yang dilaporkan dari berbagai daerah. Sekali lagi yang dianggap
bertanggung jawab adalah sektor kesehatan. Hal ini disebabkan kurang
dipahaminya kompleksitas faktor penyebab terjadinya masalah gizi. Di lain pihak
masalah gizi baru dianggap penting apabila keadaannya sudah memburuk, baik dari
segi jumlah maupun tingkat keparahan.
Pada saat krisis moneter berkepanjangan
seperti sekarang, penyebab tidak langsung dan menonjol dari gizi buruk
diperkirakan masalah sosial ekonomi. Ketidakmampuan keluarga menyediakan makan
bagi keluarga, khususnya anak, dalam jangka waktu lama. Sosial ekonomi bukan
satu-satunya faktor penyebab, masih banyak faktor lain yang tidak kalah penting
untuk diperhatikan.
Ada
benarnya pernyataan Gubernur Jabar bahwa hal gizi buruk pada anak di Jabar
lebih disebabkan pola makan anak-anak balita yang tidak memenuhi standar
kesehatan. Tetapi alasan Gubernur bahwa stok beras dan berbagai bahan pokok di
Jabar cukup banyak, sehingga seharusnya tidak terjadi kasus gizi buruk kiranya,
kurang relevan.
Kemudian, perkiraan bahwa jika anak rajin
ditimbang di posyandu sebulan sekali, kasus gizi buruk dapat dicegah, kiranya
mendangkalkan masalah gizi buruk hanya seputar makanan yang berkaitan dengan
berat badan. Walaupun, posyandu tetap bermanfaat sebagai alat pemantau yang
sangat umum.
Tampaknya, penanganan gizi buruk tidak saja
soal stok bahan makanan yang cukup, pola makan yang harus memenuhi standar
kesehatan, atau aktivasi kembali pelayanan Posyandu yang mulai meredup.
Hal yang secara komprehensif pantas
direnungkan kembali saat ini adalah, bahwa ditengah-tengah krisis ekonomi,
justru pola hidup konsumtif dan kenaikan life style telah
menggerogoti anggaran nafkah gizi (bahkan makanan pokok) keluarga.
Masyarakat kita telah diserang ribuan bahkan
jutaan jenis produk yang selalu saja sangat atraktif, sampai-sampai kita bisa
lupa kebutuhan pokok dan membeli yang kurang kita butuhkan. Pola konsumsi, pola shopping,
dan pola hidup, telah kita impor besar-besaran,. Dan di sisi lain dana-dana
kita mengalir ke luar negeri mendatangkan barang-barang konsumtif dan bukan
“makanan bergizi”. Taruhannya, adalah generasi yang hilang – bangsa yang (tetap)
meredup. (*)
Opini:setidaknya kita harus menjagga
kebersihan lingkungan karana lingkungan yang kotor juga mempengaruhi gizi buruk
degan kesadaran menciptakkan lingkungan yang bersih pasti akan mengurangi gizi
buruk.
0 komentar:
Posting Komentar